Jumat, 23 Januari 2009

ingin jadi Kupu-Kupu

Aku ingin jadi kupu-kupu.
Bisa TERBANG.
TERBANG kemana saja yang aku suka.
TERBANG bersama orang yang aku sayangi.
Ke sebuah tempat yang hanya aku dan dia saja.
Aku ingin jadi kupu-kupu.
Karena aku menyukai kebebasan.
BEBAS menjadi aku.
BEBAS berimajinasi.
BEBAS mencintai siapa saja.
BEBAS kemana saja aku mau.
Aku ingin jadi kupu-kupu.
Karena aku menyukai INDAH.
INDAH dalam bentuk maupun maknanya.
INDAH dalam mengartikan rasa.
INDAH dalam kerinduan akan cinta.
INDAH yang nyata maupun hanya dalam mimpi.
Aku ingin jadi kupu-kupu,
boleh ya Tuhan?

Selasa, 20 Januari 2009

Diary Emak Ayam 2 : Sodomi Massal

Sebutlah hari yang kemarin saya lalui sebagai: Hari Sodomi Massal.
Hahaha.
Apa iya?

Tapi, memang begitulah yang terjadi.
Entah ada apa dengan Valiant si Om Bandot dan Christian bin Bullier, pasangan Kulkas Dua Pintu—julukan Muti (Bukune) untuk pria-pria berbadan besar ini—hari itu. Mereka tampak begitu liar dan tak terkendali. Mirip monyet kalo lagi horny. Atau mungkin, mereka merasa superior dari sisi fisik sehingga tindakan bully mereka pun semakin merajalela. Menindas yang kecil, melibas yang mungil.

Seharusnya, saya sudah bisa mencium gelagat ini sejak seminggu yang lalu. Tepat hari pertama saya memungut Val sebagai Anak Ayam kesembilan. Atau, sebutlah, saya sudah tertipu dengan wajahnya yang se-chubby bayi raksasa, padahal sungguh dia sepahit empedu. (hallah….)

Kemalangan menimpa satu per satu anak ayam, dan merembet ke para anak kambing—julukan saya untuk teman-teman Bukune. Ceritanya, sore itu saya sehabis mengantarkan para anak kambing ke Planet Hollywood. Ada launching buku terbaru mereka. Jadilah, saya meninggalkan para anak ayam bersama papa mereka. Agak waswas juga. Karena di siang harinya, berdasarkan laporan Alit dan Resita, sebelum saya pergi pun Val sudah melakukan tindakan tanpa mengindahkan ukuran tubuh kepada si Resita. Ia mengangkat-ngangkat Resita. Lalu, sengaja membawa-bawa gunting berupaya memotong rambut si gadis bermata sipit itu. Sebelumnya, Val tertangkap basah sedang melakukan upaya pemotongan buntut rambut saya yang sudah mencapai punggung.

Saya percaya dengan cerita Alit dan Resita. Karena bukti-bukti yang menunjukkan duo gerombolan si berat ini demen melakukan tindakan kekerasan cukup banyak. Saya termasuk yang kerap menjadi korban. Contohnya, ketika saya berpas-pasan dengan Val dan Christ di pintu masuk kantor, tiba-tiba kedua orang ini menyeret saya sambail berlari dan melempar saya masuk ke dalam mobil panther hijau Val. ‘Ini penculikan!’ teriak mereka. ‘Cepat masuk!’ Suara Christo bikin telinga saya pekak. Dan mereka memaksa saya memakai topi cina yang dibeli Val ketika kami mengunjungi sebuah pameran buku di Bandung. Sungguh perbuatan yang kurang pas. Topi cina tidak pantas di kepala saya, mengingat kepala saya kecil dan kulit saya cokelat. Harusnya, mereka memasang topi bulu-bulu suku Indian. Itu baru cocok.

Sungguh, saya tak paham. Ada apa dengan kedua makhluk itu. Mereka yang sudah tak lucu itu berubah jadi momok bagi saudara-saudaranya. Saya rasa, saya butuh obat penjikan untuk jenis binatang menjelang masa kawin atau jam-jam horny-nya.

Saya mulai berpikir, mungkin mereka menegak dopping sebelum berangkat kerja, dan dosisnya terlalu tinggi sehingga hiperaktif. Tapi, kecurigaan saya tampaknya tak beralasan. Menjelang deadline atau ketika mendekati makan siang, kelakuan mereka akan semakin beringas. Atau mereka mengosumsi obat perangsang melebihi takaran? Begitu pikir saya lugu. Sayang, kelakuan mereka sepertinya bukan tanda-tanda overdosis, deh.

Dan, malapetaka itu terus berlanjut hingga sore menjelang.
Saya baru pulang dari Planet Hollywood. Masuk ke kandang Gagas dengan ceria. Selayaknya seorang emak yang meninggalkan anak-anaknya, saya kangen ingin berjumpa wajah mereka dan mendengar celoteh nyaring mereka. Namun, keinginan itu luluh lantak seketika. Ketika saya sedang bicara berhadap-hadapan dengan Alit, Val dan Christ dengan sengaja menjepit kami. Menggencet kami di antara besar tubuh dan timbunan lemak perut mereka. Rasanya seperti ditindih dua mahmot zaman es. Ugh.

Melihat saya dan Alit tak berdaya, rupanya mereka ingin ekspansi mencari korban lain. Rizal (Bukune)—well, FYI, GagasMedia itu selain penerbitan, kandang ayam, juga membuka jasa toilet umum—datang buat pipis. Mereka dengan wajah manis pun menyambut. Rizal nggak curiga. Tengah enak dia berjalan menuju surga untuk buang hajat, Christo dan Val kembali melancarkan serangan. Tapi kali ini, saya juga terjepit di tengah-tengah mereka bertiga. Kalau yang pertama terasa empuk meski berat—mengingat alit, Christ, dan Val termasuk dalam suku perut buncit—yang kali ini terasa membentur tulang dan sakit. Ya iya lah, Rizal dan saya sama-sama terdiri dari susunan tulang yang dibalut minim lemak.

Masih dengan menyisakan tawa di ujung, tiba-tiba Muti datang. Sama kayak Rizal, dia pengen uang hajat: boker. Mukanya sih polos nggak curiga. Val dengan manis dan ramahnya mempersilakan Muti menggunakan kamar mandi. Ketika Muti hendak menuju toilet, kami bertiga (saya, Val, Christ) segera menyerang Muti. Menghimpitnya, menggenjetnya, dan membuatnya penyet! Namun, selalu sial bagi saya, saya selalu keplenet. Kali ini kepala saya dan Muti berbenturan cukup keras. Saya pusing. Muti puyeng. Kami jatuh bersamaan. Dua makhluk raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Muti mendadak nggak pengen boker—semuanya masuk lagi ke dalam. Kepala saya masih cenut-cenut. Di antara sisa kesadarannya, Muti berlari kembali ke kandang Kambing. Berteriak memanggil Tata, memeluknya, dan menumpahkan segala petaka yang di hadapinya ke dada Tata yang nggak bidang.

Tata, dengan dada terbusung dan wajah yang distel sebagai sosok pelindung, kembali mengantarkan Muti ke ruangan Gagas untuk boker. Sebenarnya, segala upaya Tata untuk terlihat sangar sangatlah percuma. Ibarat pepatah, bagai menepuk angin. Christ dan Val secara wajah dan fisik jauh lebih besar dan sangar jika dibandingkan dengan Tata.

‘Kalian ngapain Muti?’
‘Nggak. Kita cuma ngajak dia main,’ jawab Val sok lugu.
‘Nggak mungkin. Muti sampai trauma.’ Tata defensif. Kali ini dia berjalan mendekati meja Resita yang udah kosong. Muti ngekor di belakangnya. Saya berdiri di dekat kubikal Alit yang posisinya di sebelah kubikal Resita. Christ berdiri di belakang Muti. Val di samping Tata yang sedang berupaya tampak seperti juru selamat.

‘Nggak Mba Tati—panggilan Muti pada Tata—mereka menggenjetku!’ teriak Muti. ‘Kulkas dua pintu itu membuat aku trauma!’
“Masak sih…!!!!’ teriak Val dan Christ berbarengan. Entah, siapa yang mengomando, Val dan Christ bersamaan berlari ke arah Muti dan kembali menggenjetnya. Tata yang melihat Val berlari ke arahnya refleks menyelamatkan diri. Ia melompat dengan gesit, dan sembunyi ke dalam kubikel Val yang ada di depan kubikel Resita. Saya juga heran, betapa dalam kondisi terjepit, Tata bisa meloloskan diri selicin belut. Padahal, dia kan spesies kuda nil?

Muti?
Well well well. Nasib Muti memang apes. Memilih pelindung yang jago meloloskan diri sendiri. Sebenarnya, Muti sudah melakukan upaya penyelamatan, namun ia salah langkah. Kalau Tata segera berlari dan melompat ke samping. Muti justru mundur ke belakang dan menabrak Christ. Ia seperti menyerahkan diri ke mulut beruang. Valiant pun datang menyerang. Dan Brukkkk…

Kembali Muti menjadi korban. Dan mengalami trauma yang berkepanjangan.

Saya?
Untungnya segera melipir ke kubikel Alit.

Sampai tadi pagi, ketika saya menyambangi Muti di Kandang Kambing, ia masih tampak shock. Trauma membekas. Bahkan pandangannya terlihat nanar. Jari kelingkingnya gemetar—ini kata Tata—pikirannya tak mampu mengingat apa yang sesungguhnya terjadi kemarin. Sekarang, saban melihat saya, Val, atau Chris, ia segera menyilangkan jari membentuk salib, sembari berharap menemukan pasak dan bawang putih.

Duuh, Muti… nasibmu, Nak!

kekasiH Hujan

Perempuan itu masih menunggu.
Di sana.
Di pinggir jendela dengan kacanya yang megah dan polos.
Duduk seorang diri menatap ke luar.
Menanti entah apa. Melihat entah ke mana.

Ia bergeming.
Siang ini memang dingin. Hangat matahari sedari pagi enggan menyapa Jakarta di bulan Januari. Ia rapikan syal merah yang membalut lehernya. Begitu kontras dengan pakaian hitam yang dikenakannya. Mukanya polos tak berpoles. Ia sendiri. Tapi aku tak yakin apakah ia kesepian. Sebab, ada senyum tipis di ujung bibirnya yang merah jambu. Mungkin, ia terkenang pada sesuatu.

Kenangan yang membuat pipinya menjadi semerah dadu.

Perlahan, disesapnya cangkir teh yang ada di hadapannya. Sesekali bibirnya meniup-niup minuman yang mengepulkan asap.

Pernah, ia menoleh. Membuang pandangannya dari jendela. Aku mengartikannya itu seperti upaya ia untuk keluar dari dunia miliknya sendiri sejenak. Dan sejenak itu yang aku simpan di dalam memori otakku. Mata cokelatnya yang pias bertemu mataku. Aku membeku.

Matanya bicara banyak. Namun, ia enggan membaginya dengan orang lain, termasuk aku. Dibatasinya aku dengan sebaris senyum. Tipis. Setipis tadi. Sayang, tak semanis tadi.

Mungkin ini bisa disebut astral. Aku seolah dilempar ke tepi pintu dunianya. Meraba-raba, apa yang tengah ia pikirkan. Menebak adakah yang ia tunggu.
Seorang lelaki?
Sahabat?
Rekanan bisnis, mungkin.
Atau, sekadar menghabiskan waktu untuk bertemu kenangannya.
Namun, daun pintunya tak terkuak. Aku tetap sibuk menebak-nebak.
***
Suara petir menggelegar. Langit kelabu di luar sana memuntahkan hujan. Ia kembali memandang ke jendela. Meninggalkan aku yang kehausan akan dirinya. Tak beringsut dari tepi jendela. Omongan orang tua, ‘Jangan berdiri di dekat jendela kalau hujan, nanti disambar geledek’ tak diacuhkannya. Bahkan, ujung jarinya kini menempel di kaca. Ikut menyusuri bulir air yang jatuh. Lambat bergerak. Seperti bom waktu yang menunggu meledak. Sebelum menghentak ke tanah dan melesak dengan membawa seribu kisah.

Aku tercenung.
Perempuan itu seolah tengah bercakap dengan hujan.
Berbagi cerita yang membuat bibirnya terus menyinggungkan senyuman tipis nan manis.
Aku mati penasaran. Aku cemburu pada hujan. Mereka tampak begitu mesra. Tak berjarak. Tak ada tempat untukku. Padahal, aku begitu memujanya. Mencintai setiap jengkal dirinya, sekecil apa pun.

Apa yang ia bisikan kepada hujan?
Sepertinya, ia berkisah tentang banyak hal. Terlihat begitu akrab. Sementara aku, tetap di sini. Mendambanya tak tentu arah. Aku seperti pesakitan. Mengamati setiap geraknya. Di setiap hari ketika hujan turun. Duduk di bangku yang sama. Memandang hal yang sama. Namun, tak juga bisa menebak apa. Bahkan, tak juga sepenggal kata, ‘hallo’ untuk menyapa.

Mungkin, besok, bisa aku mulai dengan ‘selamat pagi’. Atau, ‘hai ketemu lagi’. Setiap hari, menjelang pulang selalu kuniatkan itu. Tapi, sampai hari ini, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, ketika esoknya aku melihatnya lagi. Aku memilih menatapnya saja. Mengajaknya bicara dalam diam.

Ia pemandangan yang indah buatku hari ini.
Sama seperti kemarin.
Kemarin.
Dan kemarinnya lagi.
Ketika hujan turun: Ia selalu ada di situ.
Dan aku selalu di sini. Menjadi pemuja gelap Sang Kekasih Hujan.

da.siN

Pernah denger atau lihat kata DASIN ngga???
Atau ada yang bernama Dasin?

Kedengarannya lucu ya???
Tapi, coba deh kamu cek di KBBI, artinya ngga sebagus bunyinya lho!
da.sin termasuk ke dalam nomina dan berasal dari bahasa Arab ini, berarti:
setan yang pekerjaannya merusak rumah tangga dan keutuhan keluarga.

Hehehehehe...
Ngga bagus banget ya, artinya? Anyway, mau bagus atau ngga, yang penting kosa kata kita bertambah ya.

Ada yang mau share kosa kata?

kuTu Kata

Baiklah, kita setiap hari ngomong pake bahasa Indonesia. Kalo ampe terpaksa ngomong ala Cinta Laura pun, setidaknya kita berpikir pake bahasa Indonesia. Tapi, bisa jadi kamu belum begitu ngeh dengan kata berikut ini :

CEDAYAM = elok; cantik. *

Jadi sekarang kamu gak usah merengut atau sok manggut-manggut kalo ada yang bilang, "ah kamu cedayam sekali hari ini!"

yaNg maNa iBuMu, de?

Itu,
Yang tinggi langsing semampai, memakai stiletto 12 senti
Rambut panjang tergerai seksi
Tangan kanan menjinjing tas merah mungil merek Gucci
Tangan kiri memegang kunci mobil Ferrari

Bukan deng,
Yang Itu,
Yang pendek gemuk, dengan daster lusuh bolong-bolong
Rambut panjang terikat karet dapur
Setiap pagi buta pergi ke pasar cililitan,
Lalu seharian muter-muter jualan sayur

Tunggu! Salah!
Yang Itu!
Yang berkulit hitam manis, dengan tank top dan rok mini
Rambut lurus hitam dikuncir tinggi
Bekerjanya di malam hari,
Melayani pria-pria edan di hotel melati

Hmm, Itu mungkin yah.
Yang besar gemuk, dengan perhiasan emas disana-sini
Rambut selalu di blow tinggi
Hiasan menor lipstik merah tebal
Kerjaan tiap hari cuma hahahihi
Istri pejabat koruptor dengan selingkuhan pria muda gaya masa kini

Plak! Emangnya seenak udelmu bisa milih-milih ibu yang kamu mau!!

puiSi necH >> NyaKau

Sekat itu begitu menusuk
Tapi tidak sedingin pagi yang lalu
Kala fajar begitu culas mengernyitkan embun
Candradimuka begitu sombong selaksa gandung.

Dan gue ?
Ibarat pancangnya yang rancu akan kebekuan
Bah!! Trisula itu
Tajam banget, Man.

Dalam irama tambo, gue asyik nyakau
“Huehehe...huhehehe.....apa lo?”
Pikiran gue terus menari-nari
Mata sebelah kiri, gue ucek-ucek.

Ketajaman gue menirus,”Wey...pada ngapain lo ?”
Trisula itu tiba-tiba berubah jadi tripleks
Gue coba minum seteguk serbat
Masih ada kontras yang tajam di pagi itu.

Gue rebahan, “Huehehe...Huhehehe.....asyik, Man
Lambat laun surya mulai membentang seperti testa yang memecah langit
Sakau gue masih meluntang-lantung
Giliran mata kanan, gue ucek-ucek.

Ada yang berderet di ujung tripleks itu
Jumlahnya bertera-tera, miliaran
Satu dan lainnya saling mengapit, satu kesatuan
Dan gue tetap nyakau, bercumbu.

“Suka-suka gue dong ah”
Tripleks itu berubah jadi trisula kembali
Perlahan cumbuan pun gue hentikan
Dengan mata benjut, gue pun kembali benerin kancut.